Sejarah Asal Usul Desa Maja Majalengka: Jejak Islam dan Pusat Pemerintahan Kabupaten di Lereng Gunung Ciremai

Berada di kaki Gunung Ciremai yang sejuk dan subur, Desa Maja di Kecamatan Maja menyimpan jejak sejarah panjang yang tak kalah menarik dari kisah-kisah daerah legendaris di Jawa Barat. Desa ini bukan hanya dikenal karena hasil buminya yang melimpah, tetapi juga karena akar budaya dan spiritual yang kuat. Berdasarkan naskah tradisional Desa Maja Selatan, sekitar abad ke-16 Masehi telah berdiri sebuah pesantren tua bernama Pesantren Dahu Pugur. Pesantren ini diasuh oleh seorang ulama asal Cirebon, Syech Abdul Jalil, santri dari Pangeran Cakrabuana yang juga keponakan Sunan Gunung Jati. Bersama sahabatnya, Abah Klindur, beliau mendapat amanat untuk menyebarkan agama Islam ke wilayah selatan Cirebon. Dalam perjalanannya, keduanya memilih menetap di dekat aliran Sungai Cilongkrang dan mendirikan pesantren yang kelak menjadi cikal bakal kehidupan religius di wilayah Maja. Karena kebijaksanaan dan ketokohannya, masyarakat kemudian mengenal Syech Abdul Jalil dengan gelar Dalem Sukahurang.
Nama “Dahu Pugur” sendiri memiliki kisah unik yang masih dikenang hingga kini. Konon, nama itu berasal dari pengalaman mistis Dalem Sukahurang ketika beliau bertapa di atas pohon “dahu”. Dalam proses semedinya, batang pohon tersebut tiba-tiba patah—atau dalam bahasa Sunda disebut “pugur”—sehingga pesantren yang didirikannya kemudian dikenal sebagai Pesantren Dahu Pugur. Secara geografis, kawasan pesantren berada di lokasi yang strategis dan subur. Dikelilingi perbukitan hijau dan aliran sungai yang menenangkan, daerah ini menjadi pusat pertanian sekaligus tempat pembinaan spiritual. Masyarakat hidup religius dan produktif secara ekonomi, menjadikan wilayah ini berkembang pesat. Ketokohan Dalem Sukahurang bahkan terdengar hingga ke Talaga, yang saat itu baru mengenal Islam. Sunan Talaga Manggung mengutus putranya, R. Muhamad Ridwan, untuk meninjau pesantren tersebut dan membangun hubungan keagamaan serta pemerintahan.
Kedatangan R. Muhamad Ridwan disambut hangat oleh masyarakat dan para santri. Karena kecakapannya dalam memimpin dan pengetahuannya yang luas, ia kemudian dipercaya menjadi pemimpin masyarakat sekitar dan dianugerahi gelar Dalem Lumaju. Di bawah kepemimpinannya, kawasan pesantren tumbuh menjadi pusat pemerintahan lokal yang semi-mandiri, memadukan nilai religius dan administratif. Namun, masa kepemimpinan Dalem Lumaju tidak selalu berjalan damai. Sejarah mencatat adanya peperangan besar melawan kekuatan mistis dari lembah Gunung Ciremai yang dipimpin oleh Aji Sangiang Rangkah. Dalam pertempuran itu, pasukan pesantren yang dipimpin oleh R. Kiswan, murid Dalem Sukahurang, berhasil meraih kemenangan berkat keahliannya memainkan tombak legendaris bernama Si Salah Nunggal. Sebagai bentuk penghargaan, R. Kiswan diangkat menjadi Aria Patih Dalem Cucuk, mendampingi Dalem Lumaju dalam pemerintahan, sementara Dalem Sukahurang tetap menjadi penasihat spiritual utama.
Dalam perjalanan waktu, Desa Maja tumbuh menjadi wilayah yang memiliki pengaruh besar di kawasan Majalengka. Kompleks pendidikan yang kini terdiri dari SD hingga SMK di sekitar alun-alun lama dulunya merupakan pusat pemerintahan tingkat kabupaten. Dari sinilah cikal bakal pemerintahan Majalengka modern bermula. Bahkan, Bupati pertama Majalengka, Kanjeng Kiai, dikisahkan sering menjadikan wilayah ini sebagai tempat peristirahatan dan perenungan. Warisan sejarah itu masih terasa hingga kini, menjadikan Desa Maja bukan sekadar daerah agraris, melainkan pusat peradaban lokal yang menggabungkan kekuatan spiritual, kepemimpinan, dan budaya religius masyarakat Sunda di kaki Gunung Ciremai.